Percikan
embun yang mendarat di hamparan rumput hijau membuat aroma yang segar. Hari ini
aku habiskan waktuku untuk menyelesaikan tugasku sebagai mahasiswa semester
akhir. Hampir tidak bisa menutup mataku sepanjang malam. Aku masih terisak sisa
kesedihan yang mendalam. Aku teringat betapa besarnya perjuanganku melawan ke
dua orang tuaku untuk kuliah di Universitas Islam Riau Pekanbaru, kampus madani
yang telah membuat aku mengerti hidup tidak harus selamanya menang. Hem,,, Bukannya aku ingin jadi anak durhaka, aku
hanya ingin mengakui kekalahanku masuk perguruan tinggi negri. Saat itu aku
yakin bisa belajar dengan baik tanpa harus di perguruan negri.
Malam
ini, aku tak bisa tidur lagi. Seperti biasa
aku ingin menulis semua yang aku lewatkan hari ini. Aku tahu hari ini aku hanya
duduk manis di depan leptop, makan tepat tiga kali. Tapi aku tetap ingin
menulisnya, ternyata buku harian yang
aku miliki hampir penuh terisi, entah mengapa aku ingin membacanya mala mini. Lembar
demi lembar kubaca, tiba-tiba aku tersenyum membaca celotehku di buku kecil ini.
Kubaca dan terus kubaca, sampai aku temukan kertas kecil yang ku hekter pada
salah satu lembar kertas buku ni. Di situ tertulis tanggal 10 Desember 2011. Kertas
itu berisi seperti gambar batik karya tangan temanku. Dia baik, bahkan aku
pernah mengiginkanya untuk ada di sisiku. Ups aku lupa, bukan hanya aku yang
menginginkannya tapi semua teman di kelas ingin dekat dengan dia.
Dalam
buku harian ini, aku juga membaca kebahagiaan pada tanggal 15 Mei 2013. Pada tanggal
itu tertulis aku pergi ke Alamayang bersama HIMA PBI untuk bermain ketoprak
yang akan ditampilkan pada malam hari jadi kota Pekanbaru. Judul ketoprak itu “Suminten
Edan”, Suminten Edan diperankan oleh Mbak
Iis senior aku di HIMA PBI, aku berperan sebagai gadis desa yang cantik dan
anggun bernama Cempluk warsiah. Dalam ketoprak itu aku dijidohkan dengan putra
mahkota bernama Subroto, aku lupa siapa nama asli beliau, yang jelas beliau adalah
sosok orang tua yang penyayang, buktinya Beliau memperlakukan aku seperti
anaknya sendiri walaupun dalam peran itu aku adalah istrinya. Aku jadi ingin menceritakan sekenario yang harus aku
hafal, tapi sebaiknya lain kali saja.
Aku
minta maaf kepada semua yang berperan dalam ketoprak itu, sejujurnya aku
mengikuti itu hanya untuk menghindari dan mencari kesenagan saja. Tapi aku
sangat berterimakasih kepada semuanya, dalam acara itu aku menyadari bahwa aku
tidak sendiri. Buat Ibu Karsinem yang aku panggil Bu’e , buat Mas Rahmat, Mas
Tulus, Mas Fatah, Mas Rival, Kak Kadir,
Mas Sidik, Mbak Iis, Mbak Cintya, dan semua teman-teman HIMA yang gak bisa aku
sebut satu per satu, terimakasih telah
mengisi hidupku dengan tawa dan canda. Aku ingin sekali menceritakan masa-masa
kita latihan yang harus pemansan dulu, latihan yang penuh tawa karena aku harus
lari-lari dan benar-bear menangis samapai menahan rasa ingin buang air kecil
karena takut pada penjahat, padahal itu malam hari, namun tetap bersemangat
denag memakan semangkuk miayam atau sepotong ubi goring sebelum mengakhiri
latihan.
Ternyata
aku ingin melampirkan teks sekenario ketoprak Suminten Edan yang berbahasa jawa itu. Aku ingin
menuliskan betapa sulitnya aku harus menghafal Bahasa jawa bersama Puspita yang memang kami akui betapa kami
kesulitan, dan selalu berganti setiap
latihan. Karena terlalu sulitnya, para
tetua mengizinkan kami para pemain untuk mencampur Bahasa jawa dengan Bahasa Indonesia. Ada rayuan yang
harus aku hafal untuk kekasihku dalam ketoprak itu nih aku tuliskan “Mas, tersnoku
kur sacilik kuku iki mas, tapi sampean ojo salah, nek kuku iki dipotong wengi,
esuk’e wis dowo meneh, dadi cintaku karo mas akan tumbuh setiap hari.” Ha ha
ha, ingin menangis juga karena rindu dengan mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar