Senin, 13 April 2015

Merahnya Merah



Percikan embun yang mendarat di hamparan rumput hijau membuat aroma yang segar. Hari ini aku habiskan waktuku untuk menyelesaikan tugasku sebagai mahasiswa semester akhir. Hampir tidak bisa menutup mataku sepanjang malam. Aku masih terisak sisa kesedihan yang mendalam. Aku teringat betapa besarnya perjuanganku melawan ke dua orang tuaku untuk kuliah di Universitas Islam Riau Pekanbaru, kampus madani yang telah membuat aku mengerti hidup tidak harus selamanya menang. Hem,,,  Bukannya aku ingin jadi anak durhaka, aku hanya ingin mengakui kekalahanku masuk perguruan tinggi negri. Saat itu aku yakin bisa belajar dengan baik tanpa harus di perguruan negri.
Malam ini, aku  tak bisa tidur lagi. Seperti biasa aku ingin menulis semua yang aku lewatkan hari ini. Aku tahu hari ini aku hanya duduk manis di depan leptop, makan tepat tiga kali. Tapi aku tetap ingin menulisnya, ternyata  buku harian yang aku miliki hampir penuh terisi, entah mengapa aku ingin membacanya mala mini. Lembar demi lembar kubaca, tiba-tiba aku tersenyum membaca celotehku di buku kecil ini. Kubaca dan terus kubaca, sampai aku temukan kertas kecil yang ku hekter pada salah satu lembar kertas buku ni. Di situ tertulis tanggal 10 Desember 2011. Kertas itu berisi seperti gambar batik karya tangan temanku. Dia baik, bahkan aku pernah mengiginkanya untuk ada di sisiku. Ups aku lupa, bukan hanya aku yang menginginkannya tapi semua teman di kelas ingin dekat dengan dia. 

Dalam buku harian ini, aku juga membaca kebahagiaan pada tanggal 15 Mei 2013. Pada tanggal itu tertulis aku pergi ke Alamayang bersama HIMA PBI untuk bermain ketoprak yang akan ditampilkan pada malam hari jadi kota Pekanbaru. Judul ketoprak itu “Suminten Edan”,  Suminten Edan diperankan oleh Mbak Iis senior aku di HIMA PBI, aku berperan sebagai gadis desa yang cantik dan anggun bernama Cempluk warsiah. Dalam ketoprak itu aku dijidohkan dengan putra mahkota bernama Subroto, aku lupa siapa nama asli beliau, yang jelas beliau adalah sosok orang tua yang penyayang, buktinya Beliau memperlakukan aku seperti anaknya sendiri walaupun dalam peran itu aku adalah istrinya. Aku jadi  ingin menceritakan sekenario yang harus aku hafal, tapi sebaiknya lain kali saja.
Aku minta maaf kepada semua yang berperan dalam ketoprak itu, sejujurnya aku mengikuti itu hanya untuk menghindari dan mencari kesenagan saja. Tapi aku sangat berterimakasih kepada semuanya, dalam acara itu aku menyadari bahwa aku tidak sendiri. Buat Ibu Karsinem yang aku panggil Bu’e , buat Mas Rahmat, Mas Tulus, Mas  Fatah, Mas Rival, Kak Kadir, Mas Sidik, Mbak Iis, Mbak Cintya, dan semua teman-teman HIMA yang gak bisa aku sebut satu per satu,  terimakasih telah mengisi hidupku dengan tawa dan canda. Aku ingin sekali menceritakan masa-masa kita latihan yang harus pemansan dulu, latihan yang penuh tawa karena aku harus lari-lari dan benar-bear menangis samapai menahan rasa ingin buang air kecil karena takut pada penjahat, padahal itu malam hari, namun tetap bersemangat denag memakan semangkuk miayam atau sepotong ubi goring sebelum mengakhiri latihan.
Ternyata aku ingin melampirkan teks sekenario ketoprak  Suminten Edan yang berbahasa jawa itu. Aku ingin menuliskan betapa sulitnya aku harus menghafal Bahasa jawa  bersama Puspita yang memang kami akui betapa kami  kesulitan, dan selalu berganti setiap latihan.  Karena terlalu sulitnya, para tetua mengizinkan kami para pemain untuk mencampur Bahasa jawa  dengan Bahasa Indonesia. Ada rayuan yang harus aku hafal untuk kekasihku dalam ketoprak itu nih aku tuliskan “Mas, tersnoku kur sacilik kuku iki mas, tapi sampean ojo salah, nek kuku iki dipotong wengi, esuk’e wis dowo meneh, dadi cintaku karo mas akan tumbuh setiap hari.” Ha ha ha, ingin menangis juga karena rindu dengan mereka.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar