Jumat, 01 September 2017

Punggung Rasa

         “Boleh aku bercerita?” setelah berbincang hebat dengan seorang Bos di perusahaan tempatku bekerja. Ngalor-bgidul gak ada tujuan kalo kata orang tua. Ku Tarik tangan rekan kerjaku dan menatapnya penuh harap. “Sok monggo atuh!” jawaban yang selalu terucap ketika aku menginginkan sesuatu darinya. Jawaban yang semakin membuatku menggebu-gebu untuk segera cepat menumpahkan segala yang ku pendam tanpa berpikir panjang walaupun sangat bersifat RAHASIA.

         “Teh, ada yang aneh sama hati ini, kayaknya hatiku belum mati Teh.” Tanpa ada jeda sedikitpun untuk Teteh memotong pembicaraanku.
Teteh hanya diam dan menatapku lekat-lekat, memegang dahiku dan meraba pergelangan tanganku mngukur suhu tubuh dan menghitung denyut nadiku. Aku merasa dipermainkan “Aduh teteh, ini kenapa?” solotku merasa tak dipedulikan. “Ih kamu mah aneh-aneh aja Neng. Mana ada tubuh hidup tapi hatinya mati.” Ha ha ha lagi-lagi humornya muncul disaat yang kurang tepat.

          “Teh, aku udah move on Teh. Ada sosok baru Teh, padahal Cuma punggungnya yang ku lihat dan  pemuda itu tak kukenal.” Aku menyambung curahan perasaanku. “Yakin kamu Neng, kok bisa.” Teteh tercengang. Hemmm, aku terus bercerita. Cerita yang membuat aku merasa terbang, terbang gak jelas dalam perasaan yang tak pernah terpikirkan oleh siapapun. “kapan lihatnya? di mana? Lagi ngapain? Ganteng gak? tinggi gak?” Mulailah teteh mengeluarkan bajibun pertanyaan, bingung harus jawab yang mana dulu. Simpel ajah kali ya jawabnya.

           Jujur, sebenarnya mata ini melihatnya satu tahun yang lalu. Saat itu aku tidak ingin meneruskan perasaan yang kuanggap hanya singgah sebentar lalu akan pergi begitu saja. Aku pun mengubur rasa dalam-dalam tanpa pernah menyiramnya apa lagi memupuknya. Aku takut rasa itu tumbuh dan berkembang menjadi rasa terlarang yang bersemayam di hati yang penuh luka ini. Tapi entah kenapa, rasa itu hadir dan entah kapan akan pergi lagi.  “Di halaman kantor kita Teh, waktu meeting bahas pembukaan cabang baru. Akhir-akhir ini, aku kepikiran terus Teh, terus lebih sering lihat punggung yang sama persis dengan yang aku lihat satu tahun lalu”.

        Kami hening, tanpa suara dan malah mulai asik dengan hanpone masing-masing. Kuotak-atik akun fb dan WA, terasa desiran darah mengalir begitu cepat diiringi gendering jantung yang berdegup. Mataku terbelalak lebar sampai mulutku ingin berteriak. “Loh kok, dia dekat ama Bos ya Teh? Liat Teh, punggung pemuda ini yang aku sukai.” Kusodorkan Hanponeku menunjuk wajah baru yang ada di akun Bos kami. “Ini mah satu bidang ama Teteh Neng, di bagian pemasaran. Tentulah kamu sering lihat punggungnya. Tapi siapa ya namanya?”

          Keheningan datang lagi. Bukanya dapat solusi malah jadi keduanya mikir, bertanya-tanya yang entah ditujukan pada siapa. Perbincangan berakhir tanpa ada penyelesaian yang berarti. Perayaan hari jadi perusahaan berlangsung. Kali ini agak kesel, dipisahkan tugas dengan Teteh. Aku diutus ke perusahaan pusat dan Teteh di perusahaan cabang 12.

          Berjalan gontai menuju ruangan acara. Langkah demi langkah seolah memendek, saat terhenti mata ini terbelalak lagi. “Ternyata sudah punya kekasih, syukurlah.” Gumamku lirih. Aku melihatnya asik ngobrol dengan mahasiswa yang sedang training di perusahaan. Ha ha ha ha, mungkin aku patah hati, melihat sosok yang pernah menggetarkan hati dan mendorong senyuman kini membuatku semakin malas untuk bekerja. Ingin aku bercerita pada rekan kerjaku yang lain, tapi tak mungkin hati ini percaya pada selain Teteh.

           Acara selesai, di kamar aku berusaha menahan diri dan pikiran. Menahan utuk jauh dari hanpone agar tidak terpenuhi nafsu rasa yang menginginkan kepuasan. Hari-hari terus berlalu, aku mencoba mengabaikan rasa itu, namun terlambat sangatlah terlambat. Mataku telah menangkap sosok itu dan meletakkannya dalam hati yang luka dan mulai mengobati alau memenuhi kekosongan itu.

          Tiba saat aku benar-benar tersiksa ingin mengetahui siapa dia. Dengan cepat kuperiksa contack hanpone dan mengirim sebuah foto dengan motion “Pak, siapa pemuda dalam lingkaran merah itu?” tanpa ada basa-basi dan rasa hormat yang terkalahkan dengan keinginan menggebu-gebu. Tidak langsung kudapatkan jawaban. Satu jam menunggu, “Oh, itu anak bimbingan saya waktu dia training dulu. Namanya Ahmad pembimbing perusahaan cabang 4 SM, orangnya baik, bertanggungjawab, soleh, tak play boy dan belum ada cewek yang serius.”

       Serasa dunia ini menghentikan waktunya, membuatku berteriak meledakkan rasa gundah. Bos memang paling ngerti maksud dan tujuan siapa pun tanpa harus menggunakan pertanyaan yang benar-benar mengarah pada maksud yang sebenarnya. “kemarin, dia baru dari rumah pakai selandang mahir.” Lanjutnya. Aku udah mulai tak peduli dengan penuturan bos. Aku malah jadi salh tingkah seolah-olah si Bos melihat wajahku yang merah macam kepiting rebus. “Oooo, pantesan familiar wajahnya. Terima kasih Pak itinfonya.” Hanya itu yang bisa saya tulis. “kalau kamu mau, nantik saya kenalkan. Tunggu aja, bentar lagi dia chat kamu.” Timpalnya.

         Aku benar-benar merasa malu, maksud dan tujuanku terbaca dan tertangkap dengan mudah oleh Pak Moyo. “Gak usah Pak, hanya ingin tahu namanya saja kok. Terima kasih lo ya Pak.” Ku letakkan hanpone dan ku tingal merapikan dan membersihkan tubuh. Benar saja, pukul sepuluh malam berbunyilah tanda pesan masuk. “P”, “P”,”P”,”P”, lebih dari lima kali, aku masih mengabaikannya. Teringatlah kata-kata terakhir Pak Moyo. Bergegas ku buka dan ku baca, tak butuh lama waktu yang kugunakan untuk mengenali pemilik nomor itu, sudah lekat betul wajahnya di hatiku Pak Ahmad.

          “Pak, maaf. Pasti Pak Moyo yang paksa Bapak. Maaf banget pak.” Aku salah tingkah lagi, aku senyum sendiri dan menutup wajah tanpa henti. “yaaa ampuuuunn, kudu ngapain aku.” Bergumam tak tentu menghayal yang tak mungkin terjadi. “iya gak apa-apa, dipaksa si enggak. Cuman ada yang tanya katanya tadi.” Jawaban yang membuat aku putus asa. Cuek banget, tepat seperti dugaanku. “Gimana Ami, udah chat kamu apa belum si Ahmad. Bapak seneng kalo anak asuh bapak berteman akrab lebih seng lagi kalo jadi pasangan. Aamiin.” Itu sebuah puisi hebat yang menggoncangkan dunia pada akhir percakapan kami, berfikir bahwa dukungan udah mulai datang.

          Waktu terus berlalu, semakin sering Mengganggu pak Ahmad. Sampai-sampai beliau merasa tidak pantas dipanggil bapak. Akhirnya kami sepakat menggunakan nama masing-masing sebagai panggilan akrab. “Teh, aku udah tau siapa dia Teh.” Aku semakin sering bercerita tentang Ahmad pada Teteh, sampai-sampai Teteh dan suaminya mendukung, walau pun si Aa masih belum percaya kalau aku udah move on.

      Hari ini, aku mengungkap dan mengakui perasaanku pada sosok baru yang tak tahu tentang ini. Perasaan yang entah sampai akapan akan bersemayam. Perasaan yang bisa jadi hanya bertepuk sebelah tangan saja. Ahmad…… satu nama baru yang mulai Aku selipkan dalam sujud malamku ketika bermuhasabah dengan Allah.

Aku Bisa Apa

Rasa entah ap yg mengusik dada. Sesaat ada lalu pergi dan kembali. Entah sekedar singgah atau menetap selamanya.

Saat pertama melihatnya rasa itu ada. Lalu aku mencoba abaikan itu semua. Namun, tak terduga sangat tak kusangka. Rasa ini kembali ada.

Awalnya hanya ingin tau nama, tak ingin menumbuhkan atau mengembangkan rasa ini. Ternyata hati tak mampu mengendalikan dan asik membohongi diri. Mencibir bahwa bahagia itu ada dalam dirinya.

Semoga Allah menegurku saat rasa ini benar-benar terlarang untuk kumiliki. Menegurku sebelum aku pertaruhkan hidupku lagi. Aku takut terulang kedua kali. Allah cemburu dan murka padaku lalu mematahkan hatiku lagi.

Cukuplah Bagiku memiliki rasa ini tanpa ada yang tahu. Cukuplah bagiku, dari jauh memandang punggungmu. Itu sedikit melegakan.

Apa nama rasa ini? Entahlah, yang jelas aku ingin tetap diam memilikinya, walau berharap hadirlah dalam hidupku. ☺