Berderai
air mata haru,bimbang sekaligus bahagia,
berpura-pura tegar di hadapan sang istri yang sedang berusaha menahan rasa
takut dan sedih. “Mas, Mbaknya harus dioprasi. Kami sudah berusaha agar istri
mas melahirkan secara normal, sudah kami suntik perangsang dua, tapi dari tadi
baru buka satu, jika ditunggu sampai buka sepuluh, kami khawatir bayi yang
dikandung tidak bisa diselamatkan, karena detak jantungnya semakin rendah.”
Itulah pembicaraan yang ku dengar. Sembari terbaring merasa takut, dokter
menyuruhku dan suami untuk berdiskusi
dengan waktu yang singkat.
“Ayang,
dengar kata dokter kan? Ayang harus dioprasi demi dede. Jangan egois Ay! Mas
tau ayang bisa lahiran normal, tapi inget Ay, dede juga harus diselamatkan”
sambil memegang tanganku lalu diam sejenak dan mencium keningku seraya berbisik
“Ayang pasti kuat, semangat Ayang!” kata-kata yang selalu ia bisikkan sejak aku
hamil trimester pertama sampai saat ini. Matanya berkaca-kaca, aku pun
demikian, ia mengusap air mataku menunggu persetujuanku. Aku pun mengangguk,
sosok laki-laki hebat yang selalu ada buatku dengan singgap memanggil dokter
dan menandatangani surat persetujuan kalau aku harus dioprasi, disusul dengan
tanda tanganku.
Setelah
penandatanganan surat persetujuan, suamiku keluar dari ruangan. Aku tidak tau
apa yang dilakukan suamiku dan mama mertuaku selama aku ada di ruang UGD. Satu
yang pasti, mereka menunggu proses oprasi yang rencananya akan dilakukan pukul
sepuluh malam nanti. Di ruang UGD itu, tidak ada yang mengajakku berbicara,
walau pun aku berusaha memanggil suster yang berada di situ, tapi mereka tetap
sibuk dengan tugas mereka masing-masing dan mengabaikanku (merasa dicuekin).
Setelah
dipasang alat pembantu pembuag urine, masuk seorang pasien yang sudah waktunya
melahirkan, ternyata beliau harus dioprasi juga karena posisi bayi yang
melintang. Padahal sudah bukaan penuh dan berusaha mengejan, tetiba dimarah
oleh seorang bidan karena hasil USG jelas bayi yang dikandungnya dalam posisi
melintang dan berbahaya jika dilahirkan secara normal. Sungguh malang nasib
beliau, jika saja suaminya ada di sampingnya, pasti sakit yang dirasa akan
berkurang. Ketika adzan magrib berkumandang, semua tim dokter bergegas
melaksanakan sholat, satu persatu berganti pakaian lalu mendekatiku.
“Vitalistres 1, kita utamakan!”
Sampai
di ruang oprasi, aku semakin tegang dan takut. Ku kira suamiku akan
mendampingiku sampai proses oprasi selesai, ternyata suamiku pun tidak tahu
kalau oprasi dipercepat setelah waktu maghrib. “Bu jangan tegang ya, tidak
terasa kok. Kalau ibu tegang ketahuan lo.” Aku hanya mengangguk walaupun
sebenarnya tetap tegang dan takut. Tut tut tut berulang kali alat berbunyi yang
menandakan aku takut dan tegang. Alat pendeteksi tegang yang terpasang
ditanganku pun mulai mengencang.
Berulangkali
aku merasa tegang, akhirnya seorang dokter yang ahli anatesi duduk di sebelah
kananku mengajakku ngobrol seraya membetulkan posisi jarum impus ditanganku.
“Bu, udah tau belom jenis kelamin anak ibu? Siapa namanya nanti bu?” aku mulai
santai dan menjawab semua pertanyannya. Operasi akan segera dimulai, aku
disuruh duduk memeluk bantal dan agak condong kea rah depan. “ibu, jangan
tegang dan jangan terkejut ya, kita suntik bius di tulang punggung ibu.” Aku
mulai takut dan tegang lagi, suntikan pertama berjalan baik, suntikan ke dua
tubuhku semakin tegang “Bu, jangan tegang ya.. ini jarumnya terjepit Bu… rileks
Bu, ambil nafas yang dalam dan hebuskan lewat mulut. Iya ibu hebat, sering ikut
senam hamil dan relaksasi ya sama bidannya?”
Operasi
segera di mulai, sebelum itu aku ditanya identitas lalu badan bagian pinggul
dicubit bebarengan dengan bagian pundak. “Mana yang sakit Bu? Bagian atas atau
bawah?” tentusaja bagian atas kan. Aku disuruh mengangkat kaki, namun kakiku
terasa berat dan rasa kesemutan. Kucoba sampai tiga kali, aku benar-benar tidak
bisa mengangkat kakiku. “Baca doa Bu, kita mulai operasinya, gak sakit kok Bu.”
Memang tidak terasa sakit, tapi rasa was-was dan tegang terus dating. Tut tut
tut, lagi dan lagi alat yang terpasang di tangan bagian lengan mengencang tanda
aku tegang. Sayatan demi sayatan aku rasakan, hanya saja tidak terasa sakit.
“Pak,
kenapa dingin sekali Pak?” tanyaku sambil menggigil menahan rasa dingin luarrr
biasa. Tubuhku bergetar, gigiku berhantuk mengeluarkan bunyi gemelutuk. “Eh….
Ini AC kita matikan loh Bu, masa dingin sich?” terus berusaha melawan rasa
dingin, obrolan konyol yang kudengar saat dioprasi pun semakin jelas, ada yang
pesan makan ayam geprek, pokoknya pembicaraan konyol yang tak perlu dipahami
karena maknanya hanya mereka yang tahu. “Eh, Ibu alergi obat ya?” aku hanya
menjawab tidak, karena setahu aku, aku memang alergi dingin sehingga badanku
bentol-bentol.
“Maaf
Bu, kita tekan untuk mengeluarkan dedenya ya.” Sungguh terasa dorongan dan
tarikan yang dilakukan oleh tim dokter untuk menyelamatkan anakku, aku pun
mendengar tangisannya. “Alhamdulillah…. Operasi selesai pukul 19.20 WIB.” Aku
tidak diberi kesempatan melihat bayiku, bayiku langsung dibawa oleh dokter anak
yang ada disitu.
Ternyata,
bayiku langsung diberikan pada suamiku. Suamiku terharu lalu mengumandangkan
adzan dan iqamah di telinga anak kami. Suamiku memanggil mamaknya yang berada
di ruang tunggu “Ma, anakku ma!” isaknya. Sebenarnya mereka berdua terkejut, karena
mereka tidak diberi tahu waktu operasi dilakasanakan.
Pasca
operasi, saya di tempatkan pada ruangan yang sepi seorang diri. Kurasakan
sensasi pusing yang luar biasa, dingin menusuk hingga tubuh terus mengigil.
Ingin kupejamkan mata, tapi aku takut terjadi sesuatu yang tak diinginkan.
Kulihat dokter lalu lalang melewati ku. Berganti kaus tangan dan masker.
Beberapa dokter, perawat dan dokter anak berlalu tanpa kuhiraukan. Makin lama
makin sepi taka da seorang pun yang melewati ruangan ini. Kemudian kuberanikan
diri memanggil dokter yang tadi mengoprasiku “Pak, boleh panggilkan suami
saya?” dokter itu pun mengiyakan dan menyuruh seorang perawat untuk memanggil
suamiku.
Suamiku
masuk ruangan memakai pakaian rumah sakit warna biru. Suamiku langsung mencium
keningku, kembali matanya berkaca-kaca. “Mas, rasanya dingin banget, sebenarnya
badan Ndok tertutup kain apa gak Mas?” Aku belum bisa merasakan anggota tubuhku
secara utuh. “Enggak Ay, biar Mas tutup pakai kain ya.” Tidak lama seorang
pasien diantar di sebelahku, pasien ini dari Baserah. Bernama Raismidar,
berbicara aneh, ngelantur sendirian. Lalu suamiku izin keluar dan mama mertuaku
menggantikannya. Kemudian bergantian lagi dengan mamakku dan bapakku yang
menyusul.
Proses
pindah ruangan dalam keadaan bius sudah mulai hilang, mulai terasa pedih dan
mendenyut sakit, tubuhku dipindah ke tempat tidur yang lebih rendah, sampai di
ruangan rawat tubuhku dipindahkan lagi ke tempat tidur yang lebih tinggi.
Rasanya luar biasa sakit, aku ingin menangis tapi tangis itu kutahan mengingat
anugerah dari Allah yang telah ku terima.
Setelah
di ruangan rawat, ada beberapa pasien lain yang juga operasi melahirkan.
Bedanya itu, mereka bisa langsung melihat anak yang baru dilahirkannya,
sedangkan anakku harus dirawat dan terpisah dariku. Lagi dan lagi aku ingin
menangis, tapi kulihat suamiku yang tegar dan kuat menghadapi ini, kedua orang
tua ku yang terus menemaniku, membuat aku terus menahan tangis itu.
Hari
demi hari berlalu, sampai pada hari ditetapkan aku pulang. Namun, kepulanganku
ditunda karena anakku harus pulang keesokan harinya. Sungguh perjuangan
keluarga yang luar biasa.
Sampai
pada hari ke empat, anakku sudah diperbolehkan pulang. Alhamdulillah bahagianya
aku, bisa melihat anak yang telah kulahirkan. “Mirip anak kang Din.” Kata
mamakku. Untuk pertama kali aku memangku anakku. Ingin segera aku memberikan
asi untuknya, namun keadaanku masih kotor dan belum madi wiladah. Proses
pembayaran pun selesai, akan segera sampai di rumah. Terbayang ramainya orang
datang ke rumah, terbayang akan terdengar pujian-pujian bahkan cemoohan orang
yang datang.
Alhamdulillah,
selama perjalanan pulang aku tidak mabuk perjalanan. Taulah, selama ini aku
anti sekali dengn yang namanya mobil. “Ma, jangan-jangan betul kata Buk Srik,
kalo abis oprasi gak mabuk lagi.” “Masa mau gak mabok ndadakan oprasi disit.”
Terlihat raut bahagia suamiku, yang biasanya takut melihatku naik mobil,
sekarang suamiku enjoy dan tersenyum.
Sesampainya
di rumah,ternyata tetangga terdekat
banyak yang menunggu. Ya, bahkan mbah uyut anakku pun sudah menunggu.
Alhamdulillah, mbah ku bisa melihat buyutnya. Selama masa pemulihan, suamiku
benar-benar menjagaku. Malu rasanya, setiap hari dilayani suami, bahkan mandi
sampai buang air pun suamiku mendampingi. harus bagaimana lagi menolaknya?
Suami selalu berkata aku adalah tanggungjawabnya.
Pernah,
suatu hari aku tak bisa menahan tangis haru di depan suamiku. Aku menangis
merasa tak pantas dilayani suami, tapi ternyata suamiku berkata lain “Udah
jangan nangis, nanti juga sembuh.” Ingin rasanya mengatakan aku tak mau
dilayani suamiku untuk semua kegiatan, tapi aku hanya terpaku dan hanya bisa
menatap wajah suamiku yang penuh kasih dan saying.
Hari-hari
berlalu, mamakku menungguku, merawat anakku dengan sangat hati-hati, bahkan
sampai menginap di rumahku sampai tiba waktu aqikah sekaligus pemberian nama
anakku. Ya, aku hidup bersama suamiku dan ibu mertuaku yang luar biasa
menyayangiku. ALULA AFSHEEN UMAIZA nama untuk anakku memiliki arti Anak
perempuan pertama yang bersinar seperti bintang yang cemerlang.
Enam
belas hari setelah kelahiran, BB anakku sudah 3,9 Kg. pada bulan ke 2 BB anakku
sudah 6,3 kg. Alhamdulillah perkembangan yang luar biasa. Puji Syukur selalu
kami ungkapkan kepada Allah, semoga Allah selalu menjaga Anak kami,
menjadikannya soleha, menjadikanku ibu yang pandai membimbingnya ke surga
Allah, dan menjadikanku suamiku Imam kami sampai ke surge Allah Swt., Aamiin.