Senin, 18 Maret 2019

Nafasku



Berderai air mata haru,bimbang sekaligus  bahagia, berpura-pura tegar di hadapan sang istri yang sedang berusaha menahan rasa takut dan sedih. “Mas, Mbaknya harus dioprasi. Kami sudah berusaha agar istri mas melahirkan secara normal, sudah kami suntik perangsang dua, tapi dari tadi baru buka satu, jika ditunggu sampai buka sepuluh, kami khawatir bayi yang dikandung tidak bisa diselamatkan, karena detak jantungnya semakin rendah.” Itulah pembicaraan yang ku dengar. Sembari terbaring merasa takut, dokter menyuruhku  dan suami untuk berdiskusi dengan waktu yang singkat. 



“Ayang, dengar kata dokter kan? Ayang harus dioprasi demi dede. Jangan egois Ay! Mas tau ayang bisa lahiran normal, tapi inget Ay, dede juga harus diselamatkan” sambil memegang tanganku lalu diam sejenak dan mencium keningku seraya berbisik “Ayang pasti kuat, semangat Ayang!” kata-kata yang selalu ia bisikkan sejak aku hamil trimester pertama sampai saat ini. Matanya berkaca-kaca, aku pun demikian, ia mengusap air mataku menunggu persetujuanku. Aku pun mengangguk, sosok laki-laki hebat yang selalu ada buatku dengan singgap memanggil dokter dan menandatangani surat persetujuan kalau aku harus dioprasi, disusul dengan tanda tanganku.
Setelah penandatanganan surat persetujuan, suamiku keluar dari ruangan. Aku tidak tau apa yang dilakukan suamiku dan mama mertuaku selama aku ada di ruang UGD. Satu yang pasti, mereka menunggu proses oprasi yang rencananya akan dilakukan pukul sepuluh malam nanti. Di ruang UGD itu, tidak ada yang mengajakku berbicara, walau pun aku berusaha memanggil suster yang berada di situ, tapi mereka tetap sibuk dengan tugas mereka masing-masing dan mengabaikanku (merasa dicuekin).
Setelah dipasang alat pembantu pembuag urine, masuk seorang pasien yang sudah waktunya melahirkan, ternyata beliau harus dioprasi juga karena posisi bayi yang melintang. Padahal sudah bukaan penuh dan berusaha mengejan, tetiba dimarah oleh seorang bidan karena hasil USG jelas bayi yang dikandungnya dalam posisi melintang dan berbahaya jika dilahirkan secara normal. Sungguh malang nasib beliau, jika saja suaminya ada di sampingnya, pasti sakit yang dirasa akan berkurang. Ketika adzan magrib berkumandang, semua tim dokter bergegas melaksanakan sholat, satu persatu berganti pakaian lalu mendekatiku. “Vitalistres 1, kita utamakan!”
Sampai di ruang oprasi, aku semakin tegang dan takut. Ku kira suamiku akan mendampingiku sampai proses oprasi selesai, ternyata suamiku pun tidak tahu kalau oprasi dipercepat setelah waktu maghrib. “Bu jangan tegang ya, tidak terasa kok. Kalau ibu tegang ketahuan lo.” Aku hanya mengangguk walaupun sebenarnya tetap tegang dan takut. Tut tut tut berulang kali alat berbunyi yang menandakan aku takut dan tegang. Alat pendeteksi tegang yang terpasang ditanganku pun mulai mengencang.
Berulangkali aku merasa tegang, akhirnya seorang dokter yang ahli anatesi duduk di sebelah kananku mengajakku ngobrol seraya membetulkan posisi jarum impus ditanganku. “Bu, udah tau belom jenis kelamin anak ibu? Siapa namanya nanti bu?” aku mulai santai dan menjawab semua pertanyannya. Operasi akan segera dimulai, aku disuruh duduk memeluk bantal dan agak condong kea rah depan. “ibu, jangan tegang dan jangan terkejut ya, kita suntik bius di tulang punggung ibu.” Aku mulai takut dan tegang lagi, suntikan pertama berjalan baik, suntikan ke dua tubuhku semakin tegang “Bu, jangan tegang ya.. ini jarumnya terjepit Bu… rileks Bu, ambil nafas yang dalam dan hebuskan lewat mulut. Iya ibu hebat, sering ikut senam hamil dan relaksasi ya sama bidannya?”
Operasi segera di mulai, sebelum itu aku ditanya identitas lalu badan bagian pinggul dicubit bebarengan dengan bagian pundak. “Mana yang sakit Bu? Bagian atas atau bawah?” tentusaja bagian atas kan. Aku disuruh mengangkat kaki, namun kakiku terasa berat dan rasa kesemutan. Kucoba sampai tiga kali, aku benar-benar tidak bisa mengangkat kakiku. “Baca doa Bu, kita mulai operasinya, gak sakit kok Bu.” Memang tidak terasa sakit, tapi rasa was-was dan tegang terus dating. Tut tut tut, lagi dan lagi alat yang terpasang di tangan bagian lengan mengencang tanda aku tegang. Sayatan demi sayatan aku rasakan, hanya saja tidak terasa sakit.

“Pak, kenapa dingin sekali Pak?” tanyaku sambil menggigil menahan rasa dingin luarrr biasa. Tubuhku bergetar, gigiku berhantuk mengeluarkan bunyi gemelutuk. “Eh…. Ini AC kita matikan loh Bu, masa dingin sich?” terus berusaha melawan rasa dingin, obrolan konyol yang kudengar saat dioprasi pun semakin jelas, ada yang pesan makan ayam geprek, pokoknya pembicaraan konyol yang tak perlu dipahami karena maknanya hanya mereka yang tahu. “Eh, Ibu alergi obat ya?” aku hanya menjawab tidak, karena setahu aku, aku memang alergi dingin sehingga badanku bentol-bentol.
“Maaf Bu, kita tekan untuk mengeluarkan dedenya ya.” Sungguh terasa dorongan dan tarikan yang dilakukan oleh tim dokter untuk menyelamatkan anakku, aku pun mendengar tangisannya. “Alhamdulillah…. Operasi selesai pukul 19.20 WIB.” Aku tidak diberi kesempatan melihat bayiku, bayiku langsung dibawa oleh dokter anak yang ada disitu.
Ternyata, bayiku langsung diberikan pada suamiku. Suamiku terharu lalu mengumandangkan adzan dan iqamah di telinga anak kami. Suamiku memanggil mamaknya yang berada di ruang tunggu “Ma, anakku ma!” isaknya.  Sebenarnya mereka berdua terkejut, karena mereka tidak diberi tahu waktu operasi dilakasanakan.
Pasca operasi, saya di tempatkan pada ruangan yang sepi seorang diri. Kurasakan sensasi pusing yang luar biasa, dingin menusuk hingga tubuh terus mengigil. Ingin kupejamkan mata, tapi aku takut terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Kulihat dokter lalu lalang melewati ku. Berganti kaus tangan dan masker. Beberapa dokter, perawat dan dokter anak berlalu tanpa kuhiraukan. Makin lama makin sepi taka da seorang pun yang melewati ruangan ini. Kemudian kuberanikan diri memanggil dokter yang tadi mengoprasiku “Pak, boleh panggilkan suami saya?” dokter itu pun mengiyakan dan menyuruh seorang perawat untuk memanggil suamiku.
Suamiku masuk ruangan memakai pakaian rumah sakit warna biru. Suamiku langsung mencium keningku, kembali matanya berkaca-kaca. “Mas, rasanya dingin banget, sebenarnya badan Ndok tertutup kain apa gak Mas?” Aku belum bisa merasakan anggota tubuhku secara utuh. “Enggak Ay, biar Mas tutup pakai kain ya.” Tidak lama seorang pasien diantar di sebelahku, pasien ini dari Baserah. Bernama Raismidar, berbicara aneh, ngelantur sendirian. Lalu suamiku izin keluar dan mama mertuaku menggantikannya. Kemudian bergantian lagi dengan mamakku dan bapakku yang menyusul.

Proses pindah ruangan dalam keadaan bius sudah mulai hilang, mulai terasa pedih dan mendenyut sakit, tubuhku dipindah ke tempat tidur yang lebih rendah, sampai di ruangan rawat tubuhku dipindahkan lagi ke tempat tidur yang lebih tinggi. Rasanya luar biasa sakit, aku ingin menangis tapi tangis itu kutahan mengingat anugerah dari Allah yang telah ku terima.
Setelah di ruangan rawat, ada beberapa pasien lain yang juga operasi melahirkan. Bedanya itu, mereka bisa langsung melihat anak yang baru dilahirkannya, sedangkan anakku harus dirawat dan terpisah dariku. Lagi dan lagi aku ingin menangis, tapi kulihat suamiku yang tegar dan kuat menghadapi ini, kedua orang tua ku yang terus menemaniku, membuat aku terus menahan tangis itu.
Hari demi hari berlalu, sampai pada hari ditetapkan aku pulang. Namun, kepulanganku ditunda karena anakku harus pulang keesokan harinya. Sungguh perjuangan keluarga yang luar biasa.
Sampai pada hari ke empat, anakku sudah diperbolehkan pulang. Alhamdulillah bahagianya aku, bisa melihat anak yang telah kulahirkan. “Mirip anak kang Din.” Kata mamakku. Untuk pertama kali aku memangku anakku. Ingin segera aku memberikan asi untuknya, namun keadaanku masih kotor dan belum madi wiladah. Proses pembayaran pun selesai, akan segera sampai di rumah. Terbayang ramainya orang datang ke rumah, terbayang akan terdengar pujian-pujian bahkan cemoohan orang yang datang.
Alhamdulillah, selama perjalanan pulang aku tidak mabuk perjalanan. Taulah, selama ini aku anti sekali dengn yang namanya mobil. “Ma, jangan-jangan betul kata Buk Srik, kalo abis oprasi gak mabuk lagi.” “Masa mau gak mabok ndadakan oprasi disit.” Terlihat raut bahagia suamiku, yang biasanya takut melihatku naik mobil, sekarang suamiku enjoy dan tersenyum.
Sesampainya di rumah,ternyata tetangga terdekat  banyak yang menunggu. Ya, bahkan mbah uyut anakku pun sudah menunggu. Alhamdulillah, mbah ku bisa melihat buyutnya. Selama masa pemulihan, suamiku benar-benar menjagaku. Malu rasanya, setiap hari dilayani suami, bahkan mandi sampai buang air pun suamiku mendampingi. harus bagaimana lagi menolaknya? Suami selalu berkata aku adalah tanggungjawabnya.

Pernah, suatu hari aku tak bisa menahan tangis haru di depan suamiku. Aku menangis merasa tak pantas dilayani suami, tapi ternyata suamiku berkata lain “Udah jangan nangis, nanti juga sembuh.” Ingin rasanya mengatakan aku tak mau dilayani suamiku untuk semua kegiatan, tapi aku hanya terpaku dan hanya bisa menatap wajah suamiku yang penuh kasih dan saying.
Hari-hari berlalu, mamakku menungguku, merawat anakku dengan sangat hati-hati, bahkan sampai menginap di rumahku sampai tiba waktu aqikah sekaligus pemberian nama anakku. Ya, aku hidup bersama suamiku dan ibu mertuaku yang luar biasa menyayangiku. ALULA AFSHEEN UMAIZA nama untuk anakku memiliki arti Anak perempuan pertama yang bersinar seperti bintang yang cemerlang.

Enam belas hari setelah kelahiran, BB anakku sudah 3,9 Kg. pada bulan ke 2 BB anakku sudah 6,3 kg. Alhamdulillah perkembangan yang luar biasa. Puji Syukur selalu kami ungkapkan kepada Allah, semoga Allah selalu menjaga Anak kami, menjadikannya soleha, menjadikanku ibu yang pandai membimbingnya ke surga Allah, dan menjadikanku suamiku Imam kami sampai ke surge Allah Swt., Aamiin.