Bukan Fiktif Belaka
Maret 2006
Pertemuan di bawah langit biru di tepi
sungai yang tak pernah terlupakan. Sifat cuek dan acuh yang membuatku penasaran
ingin mengenalnya lebih jauh. Hari-hari yang terlewati tanpa makna apa pun. Menunggu
dan selalu menunggu sesuatu yang tak akan pernah terulang. Walau dalam ifilsafat
mengatakan bahwa segala sesuatu yang telah terjadi pasti akan terulang kembali.
Hal apa pun itu, bedanya tidak pada waktu yang sama dan orang yang sama.
Mei 2006
Penantian yang selama ini ku lakukan tak
pernah terwujud. Aku putus asa menjalaninya, aku tersadar ternyata dia
benar-benar pergi. Terpaku diam di bawah terik matahari di langit biru. Bisuku akan
segera ku akhiri bersama datangnya masa depan Indah. Aku tak akan mengingatnya
lagi, ya… aku akan melupakannya.
Juli 2006
Kepergianku tak akan pernah membuat dia
kembali pada posisi tempatnya berdiri hari itu. Aku terlalu melukainya. Aku tak
berdaya melepasnya, tapi apa yang harus ku lakukan? Aku hanya akan membuatnya semakin
terluka jika tetap bertahan di sisinya.
Agustus 2006
“Hiro, waktunya berangkat!” aku
Dafari
Hirotama, akan segera meninggalkan Negeri Sakura yang indah. Amerika adalah
tujuan utamaku. “Mika, tetaplah berdiri kokoh seperti saat belum bertemu aku.” Aku
meninggalkan selembar kertas dengan tulisan itu di dalam sebuah botol yang aku
tanam di bawah pohon sakura di tepi sungai. Ya tempat awal aku bertemu dengannya, aku akan
selalu mencintai langit birumu.
Januari 2007
Hari ini terasa berbeda dengan hari-hariku
sebelumnya. Tak ada lagi pemandangan bunga sakura, tak ada lagi shusi
kesukaanku buatan ibu. Perlahan aku mampu melupakannya dan memulai hidupku yang
baru. Masih seperti yang dulu, aku selalu membawa camera yang ku kalungkan di
leher, memotret segala sesuatu yang membuatku merasa bahagia.
Agustus 2009
Dua tahun telah berlalu, sebenarnya aku tak
ingin kembali ke negeri Sakura tempatku dilahirkan. Setelah study ku selesai
aku ingin pergi ke Indonesia memilih tinggal bersama ayahku bukan ibuku. Tapi aku
harus tetap pergi menjenguknya sekali dalam satu tahun. Keputusanku bulat
memilih tinggal bersama Ayah di Indonesia, Negara beriklim Tropis yang akan
membuatku memiliki kulit kecoklatan seperti kulit ayah. Yosshhh….. study ku
benar-benar selesai. Aku mengirim sepucuk surat untuk ibu, menggunakan Bahasa Indonesia
yang aku kuasai sejak aku kecil.
September
2009
Moshi
moshi Ibu…
Usiaku kini sudah lebih dari 22th, aku ingin menjalani hidupku yang
seutuhnya. Aku ingin pergi dan tinggal di Indonesia bersama ayah. Don’t
worry, aku akan menjengukmu sekali dalam setahun. Aku ingin menjaga ayah
seperti yang ibu inginkan. Ibu harus bahagia bersama adikku di situ, tak perlu
khawatir ayah pasti akan mengajariku beradaptasi di sana, sama seperti saat
ayah membantu ibu beradaptasi dengan lingkungannya dulu.
Love
U
Hiro
|
Oktober 2009
Hem,,, ibuku asli orang jepang dan ayahku
asli Indonesia. Aku terlahir sebagai orang blasteran Jepang-Indonesia. Ibu dan
ayah bercerai saat aku masih duduk di bangku SMA tahun pertama. Awalnya aku tak
merasa terganggu dengan setatus keluargaku. Lambat laun aku kehilangan
kebahagiaan. Lima tahun yang lalu, pergaulanku sama seperti remaja seusiaku. Bergembira
dan selalu riang, tapi suatu perceraian ibu dan ayah melewati usia dua tahun
aku hancur. Saat itulah aku mulai menyendiri dan menjauhi teman-temanku. Setiap
sore hari aku selalu berjalan sendiri melewati jembatan yang membentang
menyeberangi sungai.
Semakin sering ku seberagi jembatan itu
semakin damai aku menjalani hidup. Sekian lama aku melakukan aktivitas itu, aku
baru tersadar bahwa jika aku datang lebih awal dari waktu biasanya aku akan
melihat pemandangan yang sangat indah dari bawah sakura di tepi sungai. Yah,
itu benar, pemandangan yang lebih indah dari dugaanku sebelumnya. Ku lihat
sosok wanita cantik dengan tas kecil yang disandangnya. Awalnya hanya iseng
memotretkan cameraku ke arahnya, tapi semakin sering kulakukan pemandangan
indah di hadapanku tampak janggal tanpa kehadiran wanita itu.
Sore ini, mata cameraku tak mendapatkannya
lagi. Aku pun putus asa dan memutuskan untuk pergi. Ku kayuh sepedaku
meninggalkan sakura yang indah. Kembali kujalani sekolahku di bangku SMA kelas
tiga tahun pertama. Aku punya teman yang keren abis. Tentunya aku tak kalah
dari dia, Nazomi namanya. Saat aku selesai dari lapangan bersama Zomi, seorang
gadis berambut pirang menghampiri Nazomi. Tampaknya gadis itu menyukai Zomi,
tapi saying Zomi lebih memilih temannya. Temannya tak mau menjawab pertanyaan
Zomi, aku tahu dia merasa tidak nyaman pada temannya, Yuka. Eh, teman Yuka
berusaha menghindari Yuka dan membiarkan Zomi berbicara pada Yuka. Dia menabrakku
karena berjalan sambil menunduk. Aku melihat Yuka tersenyum dan bercerita
padanya, “Mika, aku mendapatkan no hp Zomi, tapi apa yang harus ku lakukan? Dia
menyukaimu.”
Aku tahu namanya, Mika. Sejak hari itu aku
selalu mengawasinya di mana pun ia berada. Suatu ketika aku menemukan hp nya di
atas meja perpustakaan. Aku yakin dia pasti mencarinya. “Moshi moshi, aku
menemukannya.” Suara mika di perpustakaan. “Wakata!” hanya itu yang aku
ucapkan. Malam hari Mika menelfonku. “Arigatho, sudah mengembalikan hp ku. Tapi
semua contack kenapa hilang?” pertanyaan yang aku tunggu “Yuph, aku
menghapusnya dan no kamu sudah aku save. Jika mereka membutuhkanmu mereka akan
menghubungi mu” Pertanyaannya semakin banyak, sepertinya dia penasaran.
Perceraian ayah dan ibu lenyap. Setiap malam
aku menelfon Mika. “Moshi moshi Mika? Apa yang kamu suka?” aku mengetahui
kesukaannya, bunga keci berwarna putih dan perpustakaan yang sepi tanpa suara
apa pun. “Mika, coba lihat ke langit!” pintaku padanya. “Huh,,, sudah pagi. Hah..
pesawat asap di langit biru.” Aku mendengar suara kantuknya “Mika, kamu
melihatnya? Ambil gambarnya, ini adalah moment pertama kita di pagi hari.” Sepertinya
Mika menuruti kemauanku karena dia meminta izin untuk mematikan telfonnya dan
memotretnya.
Aku masih belum bisa memberi tahu siapa
sebenarnya aku pada Mika. Aku hanya bisa memerhatikannya dari jauh walau dalam
satu sekolah. “Moshi moshi, yaup Mika?” dia menelfonku. “Moshi, ulang tahun
kali ini tak seindah ulangtahun yang telah lalu, orang tuaku bertengkar, aku
dan kakak terabaikan.” Mika curhat padaku, orang yang selalu memperkenalkan
diri padanya dengan nama “Rahasia”. “Woi Mika, mari kita rayakan besok di kolam
rengang sekolah sebelum upacara. Walau telat satu hari harus tetap dirayakan,
aku bersemangat.”
Pagi hari yang cerah dengan langit biru. Kuhampiri
Mika dan menyodorkan seikat bunga kesukaannya. Dia terkejut melihatku, sangat
terkejut. “Oi Mika Happy birthday!, aku Hiro kelas tiga C, kenapa kamu
berdandan seperti Itu? Tidak seperti Mika yang biasanya.” Mika hanya diam dan
menatapku dengan takut. “Bunga itu pasti menangis!” hanya itu yang diucapkannya
dan berlari meninggalkanku di tepi kolam renang.
Kejadian pagi tadi membuatku merasa harus
menanam bunga yang ku cabut dari taman sekolah. Usai jam pelajaran aku meminta
sekantong pupuk bunga pada pejaga kebun sekolah dan berlari menuju taman kota. Aku
menanam bunga di sana, kutaburi bunga itu dengan pupuk biar subur. “Hiro, apa
yang kamu lakukan?” Mika berdiri di belakangku dan memerhatikan aku. “Menanam
bunga kesukaanmu dan memberinya pupuk agar subur.” Ku sirami bunga itu, ku
arahkan selang penyemprot pada Mika, dia terlihat marah dan menunduk, “Oi Mika
lihat!” ku tunjuk pelangi melengkung dari smprotan air yang ku arahkan ke
matahari yang menghasilkan biasan cahaya berwarna-warni. “Oi Mika, ini untuk
hadiah ulang tahunmu.” Mika mulai tersenyum dan tertawa kecil.
Keesokan harinya aku tunggu Mika di
perpustakaan. “Mika, ke perpus sekarang aku tunggu.” Sent! Sms telah ku kirim,
tak lama Mika menghampiriku “Hiro, ada apa?” dia gadis polos yang pertama kali
ku kenal. “Yuk bolos, aku ajak ke tempat faforitku.” Ku kayuh sepeda menuju
tepi sungai setelah menyebrangi jembatan panjang. Ku hentikan sepedaku dank u Tarik
Mika yang duduk di boncengan. Mika terdiam lalu tersenyum, “Hiro, apa kamu
selalu ke sini setiap hari?” pertanyaan yang sama dari semua orang saat
melihatku berdiri di tepi sungai ini. “Yuph, aku senang berada di sini.”
Mika, tak bertanya lagi. Dia memandangiku. “Jadi
Hiro benar menyukai sungai, mengalis kemanapun dan membawa segala hal
bersamanya.” Aku tersenyum “Aku ingin jadi langit biru, agar bisa selalu
melihat ayah dan ibu di mana pun mereka berada.” Mika tersenyum mendengarku “Ya..
aku juga ingin menjadi langit biru, agar bisa tersenyum selalu bersama Hiro.”
Kami semakin dekat, “Mika, mari kiata
berhenti berteman.” Perkataan bodoh yang akan memberi resiko dalam perjalanan
hidupku, bahagia atau menangis. Aku teriak saat Mika menganggukkan kepala dan
ingin mengakhiri hubungan pertemanan kami. Ku peluk Mika dan ku ajak dia ke
rumahku. “Hei bu, ini Mika kenalkan.” “Oi Mika.” Ku ajak Mika ke kamar dan menceritakan
kebahagiaan yang ku dapatkan hari ini. “Arigatho Mika, kamu mau jadi pacarku.” Mika
tersenyum lalu memandang ke luar jendela melihat langit biru. “Mika, yuk ambil
gambar.” Klik… “ha ha ha ha ha…. Jelek sekali hanya ada mata kirimu, mata
kananku dan langit biru di luar.” Mika tertawa. “Oi Oi… ini momen kita bersama.”
Celetusku.
Lima
bulan telah berlalu. “Mika, temani aku!” ku ajak kembali Mika ke bawah pohon
sakura di tepi sungai. “ini untuk mu Mika.” Ku sodorkan beberapa foto yang ku
ambil saat ayah dan ibu baru bercerai. Mika terkejut melihat dirinya ada di
dalam foto itu. “Aku baru tahu kalau itu kamu Mika, wanita yang membuat
pemendangan indah di sini hilang karena ketidakhadirannya, wanita yang membuat
aku ingin cepat pergi dari sini saat aku tak menemukannya, sekarang aku
benar-benar memilikinya.” Mika tersenyum dan memegang kedua pipiku dengan
tangannya yang halus. “Hiro, makasih selalu membuatku melambung setiap hari,
menduduki singgah sana cinta tertinggi yang indah ini.” Mata Mika mulai
berkaca-kaca, langsung ku peluk dia dengan erat.
Setelah peristiwa kemarin, membuatku
mengingat perceraian ayah dan ibu. Aku kembali terpukul, ibu menikah lagi
dengan lelaki beranak satu. Ku habiskan waktu di bar dengan tujuh botol minuman
keras di hadapanku. Aku mabuk, tak tahu mana arah jalan pulang. Ku lihat cahaya
sangat terang menghampiriku membuatku tak sadarkan diri.
Ku buka mata, Mika berada di sampingku
tertidur dengan menggenggam tanganku. Ternyata aku koma sudah lima hari, cahaya
itu adalah mobil truk yang menabrakku. Aku hanya luka tak berarti di bagian
lutut dan siku, tapi dokter memberi tahuku agar segera kerumah sakit jika
kepalaku pusing setelah keluar dari rumah sakit. Mika mengantarku pulag bersama
ibu dan ayah baruku. Waktu terus berlalu hingga aku lulus sekolah.
Satu tahun setelah aku menganggurkan diri
untuk tidak melanjutkan pendidikan, aku memutuskan Mika tanpa memberi alasan
kepadanya. Mika tak menginginkanku memutuskannya tapi aku tetap memutuskannya. Mika
masih sering ke rumahku dan selalu
disambut hangat ibu adikku. Tapi kali ini aku yang mengundangnya melalui Yuka. “Oi
Mika, apakah kamu datang ke rumah Hiro bersama denganku dan Zomi, dia bilang
rumahnya kosong karena ibunya ke Indonesia bersama adik dan ayahnya jadi dia
ingin berpesta.” Yuka mengajak Mika bersama ke rumahku. “Tidak, biar akusendiri
yang ke sana.” Sebelum Mika dating aku dan teman-teman sudah memulai pestanya,
aku berpura-pura mabuk seperti teman-teman yang lain.
Malam semakin larut, aku berusaha tak
tertidur menjaga Mika dari teman-temanku yang mabuk. Aku melihat Zomi mencium
Mika dalam kondisi manuk, Mika mendorongnya dan berlari ke luar menuju kamar
mandi. Saat Mika kembali aku sengaja mencium temanku Ashika yang mabuk berat. Aku
tahu ini sangat melukai Mika. Mika tak jadi masuk ke kamar, aku melihatnya
melalui jendela dia berlari meninggalkan rumahku.
“Hiro, ini sms ku terakhir untukmu. Sampai kapan
pun aku tak akan berhenti mencintaimu. Aku ingin berbicara denganmu. Aku tunggu
di tempat faforitmu besok sore, jika kamu tak datang aku benar-benar menyerah dan
berusaha berhenti mencintaimu.” Aku sngaja dating terlambat dua jam berharap
dia sudah pergi dari sana, ternyata aku salah dia benar-benar menungguku. Aku tidak
turun dari sepedaku, bahkan aku berteriak dan melempar cincin yang Mika
lemparkan padaku saat aku memutuskannya. “Ku rasa kamu sudah bahagia dan
melupakan aku, semalam aku lihat kamu mencium Zomi.” Aku berteriak “Bukankah
kamu yang mencium dan bercumbu dengan wanita lain.” Mika membantah “Oi Mika,
aku tidak akan menghapus air matamu lagi, jadi percumah.” Aku pergi
meninggalkan Mika yang berusaha mengejarku dengan berlari, sebenarnya aku
menangis tapi aku yakin inilah terbaik untuk Mika.
Sudah lebih satu tahun tidak bertemu Mika,
aku merindukannya. Aku berusaha mnelfonnya namun tak pernah di angkat. Aku kirim
sms agar dia menemuiku di tempat faforitku tapi dia tak datang. “Mika, aku
hanya ingin mengucapkan selamat tinggal, aku ingin melanjutkan study ke
Amerika.” Penantianku sia-sia.
Yah, itulah ceritaku sebelum aku memutuskan
kuliah di Amerika dan memilih Indonesia sebagai tempat tinggal baruku. Aku ingin
melupakan Mika, walau sebenarnya sampai kapan pun aku tetap menunggunya. Pernahkah kamu duduk di
singgasana cinta tertinggi? Singgasana yang menjadikanmu raja cinta bahagia,
tapi kamu sengaja menjatuhkan dirimu sendiri dari singgahsana itu, kamu gak
cacat sih, Cuma kamu gak bisaberdiri tegak seperti dulu lagi. Mika, memang aku
yang mengakhiri hubungan ini. Karena aku sudah merasakan sakitnya putus cinta
aku tak akan merasakan cinta lagi. “Mika, tetaplah kuat dan tersenyum seperti
saat tak mengenalku.” Mika, saat kamu tahu semua tentang ini, aku ada di langit
melihatmu. Jika engkau bahagia maka aku akan berwarna biru, jika kamu merindukanku,
aku pasti berwarna merah pada senja hari, jika hujan turun maka aku tahu kamu
sedang bersedih, lalu saat gelap malam dating rasakanlah aku selalu memelukmu.
Tiga tahun akau belajar Bahasa Indonesia,
akhirnya aku bisa berbahasa Indonesia dan mampu membaca tulisan Bahas Indonesia. Aku seperti orang bodoh, baka!
baka! setelah membaca diary Hiro yang hanya bertuliskan tentangku. Hiro
memutuskan aku bukan karena tak mencintaiku. Tapi karena tak ingin membuatku
menderita harus kehilangannya. Hiro tak pernah bercerita kalau kecelakaan itu
menyebabkan kangker di kepalana. Hiro, maafkan aku membuat penentianmu sia-sia.
Ternyata sakitku tak sebanding dengan sakit yang selama ini kamu rasakan. Hiro,
aku akan selalu ingat, jika langit biru kamu bahagia bersamaku, jika langit
berwarna merah wajahmu merona karena tahu aku merindukanmu, jika hujan maka
kamu bersedih bersamaku, dan jika malam datang akan ku rasakan kehangatan
pelukanmu. Hiro, kita akan bersatu di sana.